Mereka Mafia Sepakbola Indonesia, Memanfaatkan Fanatisme Kita Semua

Sepakbola adalah hiburan untuk rakyat, tapi kenapa hanya segelintir orang yang bisa merasakan nikmat? Jika berbicara tentang kodrat, tak sepantasnya sepakbola Indonesia ini berdiri diantara orang-orang laknat.

Dipikirnya kita ini apa, hingga mereka bisa mengatur liga sebegitu suramnya. Tumbal manusia, petisi merajalela, protes dimana mana, ternyata masih belum cukup juga tuntaskan dahaga. Entah senggama macam apa yang menciptakan anggotanya, mereka tetap tebal muka dan tutup mata juga telinga saat satu persatu nama, para pengguni neraka ini kembali mengudara. Bagi mereka, melacurkan negaranya ditambah menikmati uang haram hasil pengaturan liga, tidak lagi menjadi hitungan dosa.

Federasi yang harusnya sebagai wadah pemersatu seakan enggan untuk bergerak maju. Jika ditanya masalah riba, merekalah yang maha tau. Dalam satu atau dua minggu mereka terbitkan catatan denda yang begitu rancu. Namun saat ditanya prestasi dan sepak terjang federasi, jawaban ini itu tak bermutu jadi alasan baku. Pun begitu, seperti benalu yang diberi nyawa manusia. Mereka merasa berharga diantara kaumnya, merasa pantas berada di tempatnya, merasa paling penting dalam ekosistem semestanya.

Jika sampai rasa bahagia kita saja diatur oleh mereka, harus dibawa kemana lagi rasa cinta dan bangga kami yang sudah terlanjur ada?

Pertanyaan ini pula yang ingin kami garis bawahi. Terlebih untuk manajemen Bali United Fc dan tentunya sangat kami hormati. Jika benar adanya predikat juara atau hal janggal dalam sepak bola kita tidak dapat dibeli maupun dibayar oleh mafia, kenapa tim kebanggaan kita (Bali United FC) tidak bisa menunjukkan hasil yang pantas untuk bertarung di-kelasnya? Bali United apa kurangnya? Stadion sudah sangat istimewa, punya cafe yang mempesona, pelatihan usia muda secara berkala, edukasi tiap sekolah di bali nyaris tanpa cela, pemain bintang seakan tak ada habisnya, fasilitas club yang nyaris seperti di eropa, sistem broadcasting nomor satu di Indonesia, ditambah sekurangnya 20.000 pasang mata yang siap mendukung penuh tanpa jeda. Tapi entah kenapa justru hasil malah menghianati usaha.

Apakah harus timbul banyak pertanyaan dulu baru manajemen mulai merangkai jawabannya? ``Jadi ini alasannya?`` Atau ``Bali United hanya puas dengan goes to school bukan goes to asia?`` Atau ``waspada bahaya laten main mata``. Adalah beberapa spanduk pada laga home terakhir kita, yang mempertanyakan sebuah kinerja yang sama sekali tidak sebanding dengan apa yang kalian dengungkan. Bukannya ingin berprasangka, ini hanyalah pertanyaan lugu dari kami yang hanya bisa bersuara. Apakah ada mafia dalam tim kebanggaan kita? Jika ada, mari kita perangi bersama. Dan bila memang tidak ada, biarlah kami begini dan berpura-pura tak tahu apa-apa. Bukan karena kami diam, nama pulau Bali bisa dipermainkan. Jika tidak ada nama Bali di dada kiri kalian, tidak mungkin kami seperti ini dan seakan terus menjadi pemeran antagonis untuk segala yang kalian lakukan. Dan ingatlah hal ini ``Kemenangan bukanlah hasil yang mutlak untuk diperjuangkan, tapi perjuangan adalah hal yang harus kalian libatkan dalam setiap pertandingan!``

Indonesia adalah negara merdeka. Biarkanlah kami menikmati indahnya sepak bola sebagaimana mestinya. Tanpa main mata, tanpa campur tangan mafia. Karena sesuatu yang besar harus diawali sebuah hal yang sederhana. Bermainlah dengan rasa yang tidak mau kalah, tidak mau menyerah, tidak mudah merasa lelah, dan jengah. Sebelum jari tengah ini menjadi penutup sebuah puisi indah, tentang ``hamba papah``.

Kami akan tetap melawan mafia dan segala bentuk penista! Demi sepakbola Indonesia dan air mata dari setiap penikmatnya!