Dejavu dan Nostalgia

Bangga mengawalmu hey pahlawan...
Salah satu bait dari nyanyian wajib tribun utara yang bak lagu Indonesia Raya yang setiap hari senin dikumandangkan, mengalun lantang diiringi deru tepuk tangan untuk tim kebanggaan.

Saya adalah seorang pemuda Bali yang terlahir di Denpasar. Tinggal di sebuah rumah kecil dekat dengan Gor Ngurah Rai. Sebenarnya saya tidak begitu mengikuti perkembangan sepak bola dunia, dan jarang menonton laga sepak bola Indonesia. Bukan karena tidak suka bola, tapi saya hanya bisa fanatik dengan sepak bola jika saya telah menjadi bagiannya.

Saat berumur 6-7 tahun, saya ingat betul setiap kali Gelora Dewata berlaga saya selalu diajak menonton pertandingan oleh ayah. Dengan kompak saya dan ayah duduk di tribun barat di Gor Ngurah Rai, dengan menggenakan celana corduroy warna abu monyet. Entah kenapa, sejak kecil saya tidak terlalu memperhatikan pertandingan. Saya lebih senang memperhatikan supporter, merasa nyaman mendengar suara mereka yang bernyanyi bersama, termasuk melihat kerusuhannya. Hahaha.. Menarik bagi saya waktu kecil. Karena mungkin kerusuhan itu sudah menjadi hal yang biasa di hampir setiap laga sepak bola Indonesia. Maka karena alasan keamanan, ayah slalu mengajak menonton di tribun barat paliang atas.

Beberapa tahun kemudian saat kelas 5 SD saya mulai sering menonton sendiri. Tujuan utama bukan menonton sepak bola, namun menjadi supporternya. Saat itu Perseden Denpasar adalah tim kebanggaan. Awalnya saya kesulitan menonton karena anak kecil tanpa orang tua tidak diijinkan masuk secara bebas. Solusinya agar bisa masuk Gor, saya harus mencari orang tua sementara untuk menumpang masuk. Dan aksi ini pun berlanjut terus hingga akhirnya saya terbiasa bergandengan bahkan digendong oleh orang entah dari mana. Hahahaha.. Masuk ke stadion, saya langsng menuju kerumunan oranye yang berada di bagian timur dan tenggara stadion. Entah apa yang ada di benak saya, sejak kecil fokus saya selalu kepada supporter.

Mulailah Era Supporter
Masih ingusan namun saya mencoba ikut berdesakan diantara kerumunan Laskar Catur Muka (LCM) begitu sebutan supporter Perseden Denpasar. Saya selalu merasa gagah ikut andil dalam nenyemangati tim. Walaupun pertandingan itu adalah alasan saya yang ke-dua untuk datang ke lapangan, karena motivasi terbesar saya adalah menjadi supporter saja . Biasanya saya selalu berdiri tepat di depan Capo, agar saya dapat melihat jelas arahan koreo. Bernyanyi, bergoyang, dan terus terang, saya saat itu sama skali tidak dapat menikmati pertandingan tapi saya bahagia. Saya senang dengan atmosfer stadion. Rutinitas ini berlanjut terus demi menyemangati tim kebanggaan yang saat itu diperkuat Miro Baldo Bento, Yan Kaunang, M. Kamri, Yeyen Tumema, Wayan Sukadana, Freddy Herlambang, dll

Hingga hari naas itu terjadi saat laga melawan PSIS dan terjadi kerusuhan luar biasa besar disana. Sesuatu yang dulunya menarik untuk saya menjadi momok mengerikan.Api disegala penjuru, pagar stadion roboh, batu botol berterbangan, dan saya tidak dapat melarikan diri kemana mana. Aparat keamanan memukuli setiap baju oranye yang dilewati atau melewatinya. Saat itu saya satu-satunya anak kecil yang menangis ketakutan tidak dapat berbuat apa karena ulah supporter. Akhirnya perseden diskors dan saya takut menonton sepak bola sendiri lagi. Moment yang cukup traumatik bagi anak yang belum genap berusia 12 tahun.

Tahun berlalu begitu cepat, tak terasa sudah waktunya saya melanjutkan sekolah. Saya kuliah di Jawa, dari pulau seberang yang saya sebut tanah anarki, saya selalu mengikuti perkembangan sepak bola Bali yang saat itu bernama Bali Devata FC namun konon karena kisruh liga dan finansial, kabar beritanya entah kemana. Hingga akhirnya belakangan saya tau ada sebuah klub Kalimantan yang berpindah homebase ke Bali setelah dibeli seorang pengusaha. Klub itu bernama Bali United Pusam yang setahun kemudian menjadi Bali United. Namanya keren namun agak kebule- bulean gitu. Kembalilah rasa penasaran saya dengan sepakbola khususnya sepakbola Bali. Namun, karena selat Bali yang memisahkan, saya pun hanya bisa melihat perkembangannya dari media dua dimensi. Bersama rasa penasaran ini, pun saya mengawalinya.

Pertandingan berlalu, banyak liga bergulir, dan semakin lama penonton semakin membludak. Stadion Kapt. I Wayan Dipta selalu menjadi lautan merah. Namun, memang dasar kebiasaan saat kecil saya tidak terlalu memperhatikan pertandingan, saya lebih fokus ke supporter. Mulai kepo di FB, Twitter, hingga Youtube. Saya dengarkan yel-yel yang berkumandang namun tidak merasakan gelora disana. Tidak seperti dulu yang begitu semangat menyanyikan tiap partitur nadanya, meski sesekali berhenti bernyayi karena keterbatasan kapasitas vokal anak kecil. Lagu yang dinyanyikan saat ini notabene masih lagu lama dan lirik yang membosankan. Apalagi lagu itu adalah milik supporter klub lain yang sudah melegenda, membosankan. Lagu yang menjadi hymne sepak bola nasional hingga iklan sosis. Sangat standar, terlalu dangdut, dan kurang kreatif menurut saya. Energi supporter tidak sampai ke pemain rasanya.

Lagu" yang dinyanyikan memang bukan lagu rasial lagi, tapi nadanya kembali mengingatkan masa kecil saat menjadi supporter. Terkenang lagi masa dimana wasit tak pernah pintar, ini adalah kandang kami kamu pulang saja, lagu yang terselip kata bantai musuhmu, dan anti kepada tim tamu adalah senjata ampuh mengintimidasi pemain dan supporter lawan. Merupakan nyanyian wajib yang dikumandangkan secara lantang dan bangga. Masa kelam itu sudah lewat. Sudah saatnya ada supporter yang benar-benar ingin mensupport apapun demi kebaikan tim kebangganya. Bukan memaki apalagi mengintimidasi.

Pada suatu malam yang berbintang beberapa teman FB saya mulai mengunggah foto di wall facebooknya. Foto sekumpulan pemuda sebaya yang sebagian besar berbaju hitam tampil "kece", dalam beberapa foto terlihat tanpa baju dan saya rasa begitu idealis. Sebuah kelompok kecil di tribun utara yang menamakan dirinya NORTHSIDEBOYS12 atau kerennya NSB12. Mereka memilih menetap di tribun utara mungkin untuk menghindari ego orang disekitarnya. Yang belakangan saya tau memang itu alasan utama mereka berdiri disana. Tempat dimana mata tak dapat menyaksikan pertandingan dengan jelas. Tempat dimana panas dan hujan menjadi teman yang akrab bagi mereka. Tempat dimana stasiun tv meletakkan pantat pegawainya untuk merekam pertandingan. Pintu masuk gate 12 menjadi akhiran nama NORTHSIDEBOYS12 adalah angka keramat milik tribun utara stadion I Wayan Dipta.

Pasukan kecil serdadu tridatu ini sangat menarik perhatian saya. Dan semua yang ada di dalamnya tepat seperti apa yang saya nantikan. Sempurna! Seperti Dejavu rasanya. Idealismenya, cara berpakainya, lagu yang dikumandangkan, kreatifitasnya seperti espektasi saya bahkan melebihi. Dari tim yang masih seumur jagung, telah lahir supporter militan. Jumlah mereka awalnya memang tak seberapa, hanya beberapa mungkin setengah bahkan seperempat kompi saja dan tak lebih dari jumlah personil siskamling. Namun... Ada atmosfer baru, bukan lapisan stratosfer, termosfer, ataupun mesosfer. Atmosfer yang mungkin almarhum Kapten I Wayan Dipta bisa merinding mendengarnya. Atmosfer yang memiliki zat kimia baru layaknya zat paling adiktif di udara, semuanya pun terlena dibuatnya. Seperti ada badai dan gempa bumi secara bersamaan dari lagu yang mereka nyanyikan. Menggelegar! Sangat luar biasa. Saya bisa merasakan rasa bangga, rasa percaya, keringat, dan air mata dari energi mereka.

Banyak Pertandingan yang Terlewatkan Menyesal? Sudah pasti! Setiap pertandingan yang saya lewatkan , saya rasa ada dorongan semakin besar untuk berdiri disana. Berdiri dengan tangan yang terangkat tinggi. Saya ingin bernyanyi diantara manusia- manusia bernyali yang tak peduli pita suaranya lagi. Merindukan menari dikumpulan separatis bak Hyena yang sedang berpesta bangkai. Saat itu saya hanya bisa memperhatikan mereka dari tanah anarki. Meski begitu, saya mulai mencoba menghapal tiap bait lirik lagunya yang nanti pasti saya nyanyikan bersama mereka.

Hampir satu tahun berlalu dan terjadi perkembangan yang luar biasa dari pasukan NSB12. Bayi yang baru lahir ini mulai merangkak, dari setiap pertandingan yang ia dilewati, selalu dijadikan semangat bayi NSB12 ini untuk berdiri, terjatuh lagi, dan terus mencoba berdiri lagi. NORTHSIDEBOYS12 seperti amunisi shotgun, para pemuda ini pecah dan siap bereplikasi. Satu menjadi sepuluh, menjadi seratus, menjadi seribu, dan akan berkali lipat. Bayi yang mulai belajar berdiri ini telah menapakkan kaki. Ini semua berkat semangat dan teriakan dari kerongkongan yang tak pernah pedulikan kondisi telinga orang disebelahnya. Merekalah kutukan peradaban, mereka suara yang terlupakan, namun mereka datang dengan sebuah bayang sempurna yang belum pernah ditemukan.

Kini saya sudah pulang ke tanah ibu lagi. Saya datang dengan teriakan lantang. Dan Bali United day pun datang. Saya pergi seorang diri lagi. Karena memang terbiasa untuk itu, dan teman sepergaulan memang tidak ada yang bersedia datang hanya untuk bernyanyi dan berdiri hingga varises di kaki mungkin muncul lagi. Karena memang tujuan NSB12 lahir bukan menonton namun untuk menjadi kaki pengganti untuk pahlawan, menjadi nafas kedua untuk tim kebanggan.

Saat itu pertandingan malam hari, saya datang lebih awal karena memang buta tuli, tak tahu arah dan tidak tahu letak gate 12. Saya susuri tiap gate, melawan arah berpapasan dengan lautan pasukan berbaju merah dan saat itu saya seperti anak itik buruk rupa. Sendiri dan berbeda. Bagaimana tidak, hanya saya yang berpakaian gelap. Hoodie hitam, baju hitam, celana hitam. Saat mulai lelah melawan arah, akhirnya terdengar nyanyian ini. Terngiang di telinga yang hafal di luar kepala.

Bangga mengawalmu hey pahlawan.
Bangga bisa bersamamu kawan.
Berjuang meraih kemenangan.
Demi sebuah kehormatan...

Ayo majulah Bali United.
Ayo berjuang Bali United.
Bermainlah dengan rasa bangga.
Demi lambang Bali di dada...
Ooooooo...

Dan seketika itu saya berlari. Saya merasakan atmosfernya, atmosfer yang lama saya nanti. Saya merasakan bangganya, saya bernostalgia. Saya telah kembali, kembali di dalam tubuh yang sudah bertumbuh, dalam tanggung jawab yang besar, saya datang dengan dengan rasa bangga yang berbeda. Seketika itu saya terlena.. NORTHSIDEBOYS12 bak candu yang mengasyikan, seperti pacar yang begitu dirindukan. Hari itu penuh gairah, adrenalin seperti terejakulasi berkali kali bersama orkestra air mata setan.

The Beginning of History. Kita awali sejarah ini kawan! Sejarah dimana terjadi sebuah pertemanan yang kompak. Sejarah dimana tercipta sebuah kelompok yang solid, tanpa peduli dari mana, agama apa, anak siapa, tanpa membedakan garis tangan, tanpa pedulikan apapun. Kita mulai belajar menjadi supporter yang miliki integritas, kreatifitas tanpa batas, loyalitas, militan, dan garis keras tapi tentu tidak ke arah radikal. Dengan jargon yang segar "Solidarity is Power. No leader just together" Kami benar benar ada karena kebersamaan. Hingga suatu saat nanti, kelak saat bayi ini sudah bisa berlari, jejak dan tapak kakinya masih dan akan selalu ada di bumi.

Kita akan selalu bersama.. Selama masih bernyawa... Semuanya demi lambang Bali di dada..

....BALI UNITED SELAMANYA....

Kiriman dari : ngakangdeaditya@yahoo.com